Jumat, 08 Februari 2008

Menerima tidak berarti kalah




Seimbang, balance, simetri dan masih banyak istilah lain untuk mengungkapkan dari kata tadi.Banyak juga bentuk-bentuk visual yang mengarah ke arti tadi, baik itu dari bentuk lingkaran, kotak, elips bahkan bentuk tak beraturan apabila digabungkan bisa menjadi bentuk simetri. Wah..kalo masalah teori tentang bentuk mungkin bisa kita buka kembali BPK (Buku Pegangan Kuliah) Nirmana Dwimatra ketika jaman kuliah. Disitu dibahas dari A sampai Z, atau ibaratanya muatan wajib untuk dasar teori/praktek para calon seniman/desainer termasuk juga arsitek.

Saya tidak akan mengulas tentang bentuk visual tersebut, hanya mungkin bisa kita personifikasikan bentuk yin yang sangat mewakili dalam kehidupan kita. Karena bentuknya fleksibel dan simetris, seharusnya prinsip yin dan yang bisa kia terapkan baik dalam bergaul sesama orang,temen, maupun klien. Bahkan pola bentuk tersebut bisa mengontrol tingkat emosi kita, contoh seperti yang saya alami dalam pekerjaan sehari-hari. Kalo kita turuti kemauan kita, klien atau katakan saja teman tidak bisa menerima hasil desain saya dengan alasan tidak masuk akal. Membuat kita semakin terpacu untuk eksplor konsep dan layout lagi,akhirnya saya bikin beberapa alternatif konsep dan layout toh hasilnya juga belum maksimal. Terus saya berpikir kemauan apa yang ingin klien sampaikan dalam desain tersebut..hasilnya jalan keluarnya juga gak bisa ngasih masukan. Cerita di atas kalo diperhatikan membuat saya emosi tetapi sekali lagi kalo kita berprinsip bahwa terkadang kita bisa terima input/masukan sebaliknya juga kita bisa mengeluarkan/output yang lebih juga.

Ternyata yang membedakan saya dengan teman, klien salah satunya adalah latar belakang, wawasan dan cita rasa/taste setiap orang tidak sama. Ini esensi yang mustinya kita garis bawahi. Orang boleh mengatakan warna bulat merah digabung dengan teks hitam ditengah bagus, tetapi saya bisa berkata lain warna merah bulat dengan teks diatas agak turun sedikit(tidak center) dengan warna putih/diapositif, itu lebih bagus. Lebih nonjol istilah kerennya eye catching. Ujung-ujungnya susah untuk menyatukan selera. Rambut boleh sama hitam tapi isi kepala lain begitulah peribahasa yang diajarkan oleh bu guru kita. Maka sekali lagi ini pekerjaan desain yang sangat berhubungan dengan seni yang akhirnya mengarah ke cita rasa/taste selanjutnya ke penentuan ini bagus/ini jelek. Bukankah begitu?
Diperlukan keseimbangan, dalam arti kita tidak menerima saja masukan itu tetapi disertai dengan konsep, mengapa mesti begini? Kok tidak begitu?. Fleksibel itu perlu tetapi tidak harus mem-bebek sekedar ngikut saja. Menerima tidak berarti kalah, tetapi sedang mengalah untuk yang lebih baik.

Satu lagi prinsip keseimbangan berlu juga dalam bergaul, berbicara tidak harus cas cis cus melulu, ngomong juga tidak selalu tinggi apalagi yang berbau materi. Sekali-kali kita mendengarkan omongan orang, keluh kesah orang dan tidak selalu menggurui kalo memang tidak perlu untuk digurui bukan digurihi... he..he. (sorry terlalu sirious..). Saya pernah berbicara akhirnya ditengah pembicaraan jadi agak canggung karena menurut saya omongan saya tadi (kalo gak salah) menyinggung perasaan lawan bicara saya, padahal tidak bermaksud menyinggung tetapi dia malah tersinggung. Wah..kalo begini ujung-ujungnya balik ke peribahsa di atas tadi. Perasaan orang tidak semuanya sama, kita sindir dia tidak ngerti kita ngomong biasa dikira kita menyindir.Susah memang.

Sekali lagi keseimbangan itu sangat perlu dalam kehidupan kita, tetapi dalam prinsip desain keseimbangan bisa diartikan statis, stag, diam, tidak bergerak dan tak ada ritme bentuk. Kalo saya, jangan disamakan desain dengan konsep yin yang.Toh dalam dunia jurnalis, keseimbangan/cover both sides itu perlu dalam menulis sebuah berita mengapa tidak dalam kehidpan kita. Tul gak..pak wartawan!

Tidak ada komentar: